Oleh: uun nurcahyanti | Oktober 29, 2012

BAHKAN TUHAN


Uun Nurcahyanti

Gelisahku akan perjalanan nasibmu, Indonesiaku
Semua orang menghujatmu.
Anak pinak bangsamu sendiri

Sedikit yang tetap terpukau
Itu pun mesti bertahan di tengah badai
hujatan dan curigacuriga

Risauku atas rasa cintaku padamu, Indonesiaku
Pada sinis yang tak berusai
Pada pesimis yang berbadaibadai

Teriak resah seorang kawan :
Bahkan bila para nabi dihidupkan kembali
Untuk menyelamatkanmu, Indonesia,
Mereka akan dengan lunglai
Muram
Dan menggelenggelengkan kepalanya

“Berangkatlah duhai Sulaiman!”

‘Aku tak kuasa duhai Kekasihku Yang Maha Kuasa,
Dimasaku aku menguasai
angin, hehewanan, tetumbuhan, Jin dan manusia’

“Lantas?”

‘Di negerinya Nabi Adam ini, banyak manusia berjiwa siluman,
Manusianya juga tampil dalam berbagai berkepala hewan.
Penduduknya merasa nyaman hidup dalam ekor ikanikan hiu.
Ragawinya bidadari tetapi berjiwa kancil dan kalong
Ini tidak ada di seantero zamanku.’

Sulaiman Yang Agung memutuskan mundur
Dengan agungnya,

Ditatapnya pepulauan nan hijau yang dari tanahnya
emas dan intan berlian singgasananya dipungutkan.

“Berangkatlah kau, Musa!”

‘Aku tak sanggup duhai Gusti Pemilik Kebesaran.
Dimasaku ku arungi setiap jengkal kesulitan
Demi mengalahkan seorang Fir’aun yang lalim.’

“Lakukanlah lagi.”

‘Negeri ini dipimpin oleh lebih dari seratus Fir’aun, Gus.
Negeri ini tidak berada dalam suatu kesulitan
layaknya dimasaku,
Ia tengah menghadapi tragedi dan
bencana kepemimpinan.

Tujuh samudraMu tak akan sanggup
menguburkan mereka.
Layaknya laut merahMu
menelan Fir’aunku dulu.’

Seraya memandang serba tak percaya,
Musa melangkah berayun kegamangnya.
Tongkatnya nan gagah
kuyu dalam genggaman kokohnya.

“Bapak para nabi, berangkatlah.”

Ibrahim melangkah tegak
menunaikan panggilan kenabiannya

‘Aku menyerah duhai Sang Pencipta keajaiban.’

“Bukankah engkaulah Sang pemberani itu, Ibrahim?”

‘Dinegeriku dulu, berhala itu
benda mati yang terbuat dari batu.
Mereka dikultuskan, tapi diam
tak bergerak, duhai Tuhan.

Di negeri ini para berhala itu
hidup dalam ragaraga manusia,
Mereka mengkultuskan dirinya.
Pandai berceloteh dan gemar berkelit.

Mereka bergerak pada malam nan senyap, dan
Berkelebat dalam siang nan benderang.

Batu berhala itu ada dalam
Tutur manis dan
baju kebesaran ragawinya.

Kapakku tidak sanggup menyentuhi berhalaberhala
negeri besar ini, Tuhan.
Berhala itu hidup
dalam alam pikiran para anak bangsanya.’

“Bersegeralah kau duhai Isa.
Dengan mukjizatmu hidupkanlah negeri yang Ku berkati ini.”

‘Aku tak mampu wahai Sang Penghidup. Aku bermukjizat
untuk menghidupkan orang yang
benar-benar mati. Disini,
orangorang yang hidup berselingkuh dengan kematian.
Lantas, mereka hidup
secara konsepsi,
Tapi
mati dalam esensi.’

“Muhammad. Lakukanlah. Ajari mereka beriqra’ dengan mukjizatmu.”

‘Itu tidak mungkin Duhai Sang Maha Cahaya.
Mereka memiliki mata, bisa melihat tetapi
seringkali purapura tak melihat.
Mereka pintar mengeja kekataan,

Mereka banyak membaca dan
Menghafalhafalkan, tetapi
Mereka enggan memahami isi bacaannya.

Mereka kau anugerahi kecerdasan tiada tara, tapi
sering bilang lupa.
Mereka selalu takzim mendengarkan, tetapi
lebih suka bilang tidak tahu.

Mereka kau takdikan menjadi
sebuah bangsa pelaut yang tangguh, tapi
terlalu mengakrabi kosakata tidak bisa.
Bahkan untuk bekerja sama

KitabMu
adalah untuk mereka yang berpikir ya Rabb.
Mereka senantiasa berucap
untuk apa dipikirkan!’

“Ajarkan mereka kebesaran kepemimpinanmu.”

‘Itu adalah kemustahilan, duhai
Penguasa Segala Kuasa.

Ajaran kepemimpinanku
adalah pengabdian, pelayanan.
Mereka pemimpin dengan pemerintahan
Menggaungkan kekuasakuasaan.

Dimasaku pemimpin dipinang, dipilahpilih
Di masa ini pemimpin mengajukan pinangan
Rakyat wajib memilihmilih,tapi
tak bisa memilahmilih.’

‘Lantas bagaimana nasib negeri yang Ku berkati ini?’

Risau mendengung di pucuk hati para nabi besar ini.

“Aku akan melakukannya sendiri!”

Sejumput gelisah melintasi ujung hati para nabi,
Seluruh doa menghidupi sekujur semesta raya
: untuk negeri Nuh nan meriuh.

“Aku pun tak sanggup,”
Hentak Tuhan memiriskan.

“Bukan aku tak berkehendak, tapi
bagaimana mungkin aku mengubah nasib
Suatu kaum sementara
Sang kaum merasa nyaman dengan nasibnya,

Mereka bersukacita dengan kebodohannya.
Mereka juga sangat menikmati kebobrokan moralnya?”

“Aku lantas harus mengubah apa? Mereka tidak menginginkan perubahan!
Kaum bangsa ini terlalu terpana dan
Jatuh pada keterlenaan pada pukau zaman.
Mereka sukacita merengguki pikatpikat semu”

“Mereka bermimpi merubah warna dunia bangsanya, tapi
Hanya diam melihat ketertindasan.
Akupun memilih diam untuk mereka.”

Rasaku semakin dipuncaki gelisah
menyengatnyengat

Doadoa anak negeri,
Kapankah akan menemukan muara kedahsyatannya?

Jika bahkan Tuhan saja
terkesiap melihat keterdiaman kita,

Bukankah itu pertanda
Inilah masa bagi kita harus bergerak,
Duhai Para Anak Bangsa!

Pare, 20 Februari 2012 23:37

Uun Nurcahyanti
(sebuah renungan dari pemikiran dua sahabat Dukun dan Kliwon)


Tinggalkan komentar

Kategori