Oleh: uun nurcahyanti | September 15, 2012

Standardisasi bin Normalisasi


STANDARDISASI BIN NORMALITAS
Pagi ini ketika saya menuju ke tempat saya mengajar, saya berpapasan dengan seorang bapak setengah baya. Kami berbasa-basi dengan saling menyapa. Beliau mencoba beramah tamah dengan menunjukkan simpati terhadap keadaan fisik saya yang tidak seperti orang normal pada umumnya. Sebuah keadaan yang biasanya memang membuat orang lain asing dan memperhatikan, yang sayangnya seringkali dengan penuh rasa iba. Beliau memberikan beberapa tips agar kondisi fisik saya kembali normal karena beliau melihat saya masih muda sehingga masih berpotensi untuk bisa disembuhkan. Harapan yang luar biasa dari seseorang yang tidaklah saya kenal beliau ini sebelumnya.
Pada akhir pembicaraan singkat yang luar biasa itu, beliau mengatakan bahwa beliau memberikan nasihat-nasihat itu agar saya bisa segera pulih seperti sedia kala (amin..), agar bisa bekerja nantinya sehingga tidak merepotkan suami dan menjadi bebannya tanpa bisa membantu apa-apa. Masa Cuma bisa ngrepoti saja, ungkap beliau mengakhiri perbincangan pagi itu.(Jangkrik..) Ah, mengapa arah pembicaraan menjadi berbalik begini cepat?
Pengalaman yang cukup menohok dan membuat pagi yang kelabu dan berawan itu menjadi semakin temaram rasanya. Sebenarnya asumsi yang dikatakan bapak tersebut sudah tidak asing untuk saya dengarkan. Ada rasa tersesak yang spontan saya rasakan memang, namun saya menyadari bahwa itu adalah hal yang wajar di zaman yang bertaburan asumsi serba ekonomi dan ekonomis ini. Dimana kriteria keberasumsian sebagian besar masyarakat kita pada setiap diri benda senantiasa disandarkan pada nilai ekonominya atau seberapa ekonomis keberfungsiannya semata. Hal ini begitu jamak dan marak terjadi sampai-sampai penghargaan kita kepada manusia lainnya pun tidak lepas dari pola asumsi yang semacam ini.
Kabar demokrasi
Kondisi serba puja harga benda semacam ini tak pelak lambat laun membentuk konsep strata sosial baru dalam masyarakat modern yang konon kabarnya sangat menjunjung tinggi demokrasi yang mengusung persamaan hak dan kewajiban serta harkat manusia dan sangat anti konsepsi hierarki kelas sosial dalam masyarakat karena memiliki prinsip egaliter serta berprinsip membela hak asazi manusia. Demokrasi adalah pilihan dan kuasa masyarakat, sebuah kuasa zaman, tidak seperti kasta-kasta dalam masyarakat Hindu yang memilah-milah kelas masyarakat bukan berdasarkan pada pilihan suara hati rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Yang jelas tidak terbayangkan adalah bagaimana nantinya bila suara rakyat yang mencicitkan kata hati mereka dan dianggap suara Tuhan itu adalah suara dari kaumnya Nabi Luth atau kata hati dari kaumnya Nabi Nuh yang sangat pembangkang. Entah hendak dibawa kemana pedati zaman ini.
Bila di masa lalu perkastaan terjadi karena konsepsi kualitas manusianya sehingga membedakan posisi seseorang dalam masyarakatnya, maka era modern mencipta pola kekastaan dengan desain keberekonomiannya, yaitu lebih pada nilai ekonomi dan sifat ekonomis suatu benda. Disini, terjadi pembiasan nilai keberbendaan itu sendiri. Karena nilai ekonomilah yang menjadi patokan nilai suatu benda, maka harga bendalah yang menentukan nilai mendasar dari suatu benda. Sebuah tas bisa menjadi begitu tinggi nilainya daripada seorang anak manusia. Seekor anak anjing bisa dianggap lebih berharga daripada kekayaan intelektual seorang manusia yang kebetulan hidup di danau kemiskinan.
Bila pada masa perkastaan, kasta-kasta dikhususkan untuk manusia sahaja namun pada masa sekarang ini perkastaan telah melewati batas keberbendaan itu sendiri. Perkastaan era modern tidak memandang konsepsi keberkualitasan sebuah benda tetapi hanya memandang sudut eksistensial ekonomi si benda. Sehingga rasa-rasanya ajaran-ajaran mulia para filsuf dan rangkaian aksara pada ayat-ayat suci terasa sangat nihil dan absurd.
Zaman serba penghargaan
“Aku ada karena aku berpikir,” tampaknya menjadi tidak lagi penting dan bermakna di hentakan kaki para bromocorah yang lebih mementingkan kedagingan demi membangun eksistensi hidupnya di tengah masyarakat. “Aku ada karena aku mencipta,” tampaknya juga bakal jatuh pada hamparan kehampaan di hadapan para pembajak karya cipta yang tidak memikirkan perjalanan sebuah pengalaman mencipta dan berkarya yang telah begitu dilenakan dan dimanjakan oleh kemajuan tehnologi permesinan dan industrialisasi,serta tehnologi informasi dan komunikasi. “Aku ada karena aku menulis,” sebuah konsepsi penyadaran atas hakekat yang paling hakekat dalam eksistensi sebuah diri yang bernama manusia, tampaknya menggelepar juga di cangki-cangkir kekuasaan dan pemilik media.
Kita nyata tengah hidup disebuah zaman yang menisbikan nilai keunggulan suatu produk kesemestaan yang bernama manusia, dimana harga sebuah tanaman bisa mencapai nilai yang sangat tidak masuk akal, malah bisa senilai dengan biaya pendidikan mulai dari PAUD hingga universitas. Harga sebuah perjalanan di jenjang pendidikan untuk manusia disetarakan dengan harga sebuah pohon atau sebuah mobil sedan. Luar biasa.
Kita hidup di sebuah zaman yang selalu meneriakan pencapaian dan pemenuhan segala hak asazi manusia agar tidak ada saling menindas antar manusia dan antar bangsa, namun justru menenggelamkan harkat kemanusiaan para manusianya dengan konsepsi bendawiah yang sarat puja layakisme. Selembar ijazah mampu memasung keharkatan seorang manusia atas nama titel alias gelar kesarjanaan dan syarat memasuki dunia kerja yang layak. Sebuah merek jam tangan berkemampuan sedemikian kuat dalam membedakan kelas sosial seseorang dan membentuk dunianya sendiri hingga menimbulkan keengganan untuk menengok manusia lain yang tidak berjam tangan dengan merek yang sama. Apalagi untuk mereka yang tidak memakai jam tangan, seperti sampah saja rasanya. Padahal secara keberkualitasan bisa jadi malah lebih tinggi, namun hal tersebut bukanlah suatu hal yang penting untuk diperhitungkan karena harga jam bermerek tertentu itu dirasa lebih tinggi dari tingkat intelektualitas seseorang yang bersifat abstrak dan tidak ada mereknya. Kata-kata Albert Einstein bahwa tidak semua yang bisa dihitung diperhitungkan dan tidak semua yang diperhitungkan bisa dihitung jadi seperti angin lalu saja jadinya.
Kita hidup disebuah rezim yang senantiasa memuja kemajuan berdasarkan pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang lantas membuat ranking-ranking atas angka-angka itu namun seringkali menelantarkan berjuta-juta anak bangsa dari suatu negeri atas nama embargo dengan alasan demi kepentingan sistem ekonomi yang dibelanya atau dengan alasan perdamaian umat manusia seantero bumi. Betapa naïf rasanya memperjuangkan perdamaian yang sarat aroma kemanusiaan dengan menciptakan tragedi kemanusiaan di tempat lainnya. Seperti anak usia 5 tahun yang seringkali membenarkan tindakannya dengan cara mencari kesalahan temannya atau bahkan mengarang pembelaan dengan menuduh temannya tersebut. Sebuah cara menyelesaikan masalah dengan meminjam bahu orang lain untuk kemudian disungkurkan.
Sungguh kepentingan untuk mencetak angka pertumbuhan ekonomi dan keberbutuhan untuk mendapat tempat dan ranking yang terhormat atas prestasi yang termaktub karena angka pertumbuhan tersebut malah acapkali jatuh pada kuasa serba ekonomistik yang lagi-lagi berhubungan dengan wilayah pikat harga, yaitu penghargaan. Kondisi ini tentu saja berpotensi menciptakan fenomena manipulatif akut atas nama entah prestasi atau entah justru atas nama puja-puji gengsi semata. Dari sisi ini, kemudian, memicu pertumbuhan para pemimpin bangsa yang berkarakter serba menguasai bukan serba melayani masyarakat bangsanya. Mereka sangat memuja indikator-indikator kemajuan yang bersifat ekonomistik yang serba penuh angka dengan analisa yang serba statistik yang ujung-ujungnya bersifat serba sulit untuk dipahami oleh rakyat kebanyakan dengan logika-logika awamiah yang bersifat semesta dan alamiah.
Politik keberbutaan
Pengkondisian semacam tersebut diatas tentu menjadi hal yang sangat penting untuk didesain, diciptakan, dan digulirkan secara terus-menerus agar wilayah yang bernama laju pertumbuhan ekonomi tidak memiliki daya kritis karena tidak memiliki sifat keterbacaan secara umum. Masyarakat yang buta aksara tengah menggeliat untuk mampu membaca, rakyat yang buta informasi juga tengah diperbangkitkan oleh tehnologi informasi dan komunikasi, sehingga menciptakan konsepsi keterbutaan lainnya menjadi hal yang substansial bagi pemegang roda kekuasaan seantero dunia ini. Masyarakat cerdas bukanlah lahan yang ideal untuk bertumbuh subur bagi konsepsi zaman yang penuh aroma serba menguasai, menghegemoni dan saling mengempiskan ini. Keberbutaan adalah jawaban paling logis untuk memperpanjang desain derap zaman.
Sementara itu, tentu perlu juga kiranya ada pola kuasa penyeragaman dengan standard tertentu yang menjadi kelaziman zaman sehingga memberangus naïf-naif yang sebenarnya menjadi bahan baku utama kearifan komunitas. Hal yang kemudian membangun sebuah pameo bahwa hidup normal adalah dengan berada di lingkaran arus standardisasi. Barang siapa menentang urusan kestandardan ini, maka ia akan lekas di juluki manusia-manusia tidak normal alias istimewa bin unik.
Tentu masih mending bila keberbedaan itu dikatakan sebagai sebuah bentuk keistimewaan yang tulus karena setiap makhluk itu memang diciptakan unik, serba tidak seragam. Namun bila standardisasi itu justru membawa ragam bentuk pemarjinalan antar manusia, tentu hal tersebut senyatanya menyalahi hakikat keberhidupan manusia itu sendiri. Mengapa? Karena manusia tidak lagi terhargai karena keberisian dirinya, ketulusannya dan juga pencapaian kemanusiaannya, tetapi semata pada pencapaian ekonominya dan nilai ekonomisnya.
Nilai ekonomis yang seyogyanya dikaitkan dengan keberfungsian benda demi membantu kerepotan kerja manusia secara rajalela merasuki seantero kehidupan manusia, mulai dari dunia personalitasnya hingga pada dunia kependidikannya. Divisi keilmuan pun dengan patuh mengikuti konsepsi serba standard dan seragam ini. Dunia keilmuan juga keranjingan konsepsi nilai ekonomis, sehingga lantas muncul pengetahuan dan pemahaman-pemahaman serba ekonomis. Materi pelajaran dan ritus ajaran digantikan dengan kampanye percepatan dengan ajaran trik dan tips yang dengan segera memberi puja ekonomi yang besar dan bernilai ekonomi tinggi.
Konsepsi serba ekonomi ini bergulir dengan cepat dan begitu berkelanjutan dengan gerak yang sangat cepat, sebutan lumrahnya dinamis atau bermobilitas tinggi, nyaris tanpa jeda. Mengapa bisa demikian? Karena jeda akan memberi ruang berpikir. Membuat kita kembali masuk dalam proses sebagai kaum yang girang dalam menikmati dan menghayati hidup. Jeda akan menimangkan kearifannya sendiri. Serba cepat membuat kita melupakan banyak kegirangan saat berjumpa orang lain dan terpaku pada pasung tehnologi dan segala sesuatu yang bernilai ekonomis ataupun ekonomi tinggi.
Setiap zaman memang pasti memiliki kelahirannya dan juga kematiannya sendiri. Desain zaman modern ini adalah konsepsi zaman yang tanpa jeda. Tanpa jeda adalah model khas pelanggengan rezim ini agar keberbutaan mengabadi dalam benak setiap diri dalam puja normalitas yang tanpa henti. Sehingga memeng wajar rasanya bila manusia yang dilimpahi kekurangan fisik seperti saya, serta merta dituding tidak produktif dan cenderung membebani. Biografi perjuangan dibalik kondisi-kondisi visualistik yang tersurat menguap begitu saja keberkisahan setiap diri dipandang dengan nalar serba genap karena keganjilan adalah ketidaklaiman zaman. Sementara, bukankah Tuhan mencintai hal-hal yang ganjil? Ganjil itu bermakna pikat personalitas yang tidak akan usai mengisahkan dirinya. Lazimkah kita terseret arus segala zaman itu, kawan, sementara Tuhan telah dengan tekun menuliskan keberkisahan makhluknya dengan segala tekun?

Pare, 12 Maret 2012


Tinggalkan komentar

Kategori