Oleh: uun nurcahyanti | September 15, 2012

Pagar Memuseumkan negara


Uun Nurcahyanti

Menapakan diri di jalan Flamboyan Pare yang membentang arah timur-barat. Pagar yang serupa menyeruak ruang pandang. Segalanya terasa seragam. Semakin ke barat pagar yang sejenis semakin berkurang, namun sisa-sisa kepatuhan dalam pagar dan tanda gerbang masih tersisa.

Gerbang kecil setinggi remaja tanggung itu mengucap banyak kata dan angka di tubuh tuanya. Lambang Jawa Timur di sisi kanan dan lambang Kediri di sisi kiri seakan tidak meyakini ingatan pengelana jalan bahwa mereka ada di wilayah Kediri di Provinsi Jawa Timur. Setiap sisi jalan mengingatkan. Setiap rumah dengan cerewet menghakimi para pelewat jalanan. Terlalu cerewet sehingga ocehan pagar itu menjadi suara sunyi yang diabaikan.

Nama kampung juga tertera disana: Desa Tulungrejo disisi sebelah kiri, dan Kecamatan Pare di sisi sebelah kanan. Kembali menohok ingatan dengan cerewet. Lantas tanggal kemerdekaan Indonesia 17-8-1945. Pagar-pagar dan gerbang yang berderet rapi itu seakan ingin mengenangkan kemerdekaan negaranya. Sebuah ajakan yang tidak bersungguh-sungguh, tetapi. Diletakkan di sisi paling bawah. Mudah tertutup tanah kala hujan tiba dan juga rentan lelumutan.

Kemerdekaan menjadi ejekan dan berdiam bisu di kaki gerbang rumah. Kemerdekaan seakan enggan mengucap dirinya dengan lantang, hanya berdesis malu-malu. Pagar-pagar itu hanya mengenang Kemerdekaan Indonesia saja tampaknya. Kemerdekaan hanya ucapan kenangan.

Disisi masuk terdapat tulisan : PANCASILA, dan lambang ambisius masa Orde Baru yaitu keluarga berencana dengan simbol dua anak cukup. Ada juga lambang tunas kelapa dan tulisan : UUD 1945. Simbol-simbol kebernegara-bangsaan yang ramai menghiasi gerbang-gerbang rumah. Seakan berdesakan hendak mengucap diri namun tergagap dan lunglai diri.

Gerbang kecil yang tingginya tanggung itu seakan canggung dengan dirinya sendiri. Memangku terlalu banyak simbol ditubuh pendeknya yang tambun. Renta dan berlumut tetapi cerewet minta ampun.
Sementara, kecerewetan adalah pangkal pengabaian. Informasi yang dilakukan dengan cerewet malah berpotensi macet dan tergencet. Segera terlupakan.

Dari beberapa penduduk asli didapat informasi bahwa pagar-pagar tersebut berdiri atas instruksi pemerintah. Lucunya, pagar dan gerbang tersebut didanai sendiri oleh masyarakat. Dibangun pada masa Orde Baru. Seperti modus pembelian seragam menjelang tahun ajaran baru di sekolah. Diwajibkan, tetapi orangtua siswa harus membeli sendiri. Bahkan, ada yang wajib beli di sekolah dan harganya ditetapkan sekolah. Tak seagam berarti salah. Mendapati diri dalam ruang malu dan cemooh lingkungan.

Pagar yang seragam Dan seragam sekolah seakan memang ingin menjadi penyata keselarasan. Seakan menyatakan bahwa dalam keseragaman terdapat penyatuan. Seragam lekas bernalar kesatuan. Pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ikka dalam tubuh pagar dan gerbang. Seakan memanggung kelupaan yang akut bahwa Tuhan bukanlah mesin industri yang mencetak barang scara masal dan identik. Tuhan adalah Sang Pemahat Makakarya. Membikin segala hal dengan cita rasa serba tak sama.

Gerbang dan pagar yang seragam dan berjajar rapi itu jatuh pada puja kepatuhan. Meriwayatkan Soeharto dalam kelanggengan bangunan-bangunan. Mengawetkan kenangan masa Orde Baru. Terlihat diam dan sederhana tetapi menyimpan perintah. Agar rakyat takluk dalam keterpatuhan semu dengan aksi nyata yang mengelesot di takzim zaman. Kebanggaan dan arogansi keseragaman ala pagar adalah simbol perbudakan yang tiada lekang oleh waktu. Soeharto kukuh berumah dipagar masyarakatnya sepanjang waktu. Memagari mata rakyatnya dengan kenangan. Seakan Indonesia hanyalah kenangan dalam tubuh pagar. Seperti 17 Agustus yang hanya menjadi monumen. September datang, Agustus tersisih dan terlupakan.

Pare, 28 Juli 2012


Tinggalkan komentar

Kategori