Oleh: uun nurcahyanti | Desember 20, 2011

Sepucuk Surat Untuk Ayah Di Hari Ibu


Duhai ayah, kuuntai kata-kata ini untuk kau resapi. Bukan sebuah gugatan atau tuntutan. Dan sebaiknya, mulai sekarang mari kita buang kata-kata tak berdaya seperti itu demi masa depan anak-anak kita, para generasi penerus bangsa itu.

Ayah, tentu kau letih karena tanggung jawab untuk mencari nafkah ada di pundakmu. Hingga pasti sedikit sekali ruang waktumu tersedia untuk anak-anak kita. Kadang saat malam mulai melarut, kau baru tiba dengan segala letihmu, sementara si upik dan si buyung telah lelap dibuai mimpi. Tapi tentu tak mengapa bila kau ikhlaskan sedikit penatmu untuk mencium pipi dan kening mereka sejenak. Untuk kemudian kau ucapkan sepatah dua patah kata berdaya yang mampu menghiasi ruang-ruang emosi mereka. Mereka akan mendengarnya dengan seluruh jiwa yang pasti memang merindumu, ayah.

Mereka memang terpejam, namun hanya mata mereka yang terpejam, jiwa mereka tak terlelap karena mereka merindukan kehadiranmu dalam setiap detik waktu yang mereka pintal.

Kata-katamu, ayah, dan juga sentuhan kokoh tanganmu yang mengusap kulit mereka, juga kecupan bibirmu di kening mereka adalah luapan energi yang kan senantiasa menguatkan celah-celah lemah yang acapkali menyerang hati belia mereka.

Engkau adalah karang kukuh tempat mereka menyandarkan jerih. Engkau adalah hamparan pondasi yang kuat tempat mereka melempar sauh kalah penat dan lelah membebani perahu kehidupan mereka. Engkau adalah sosok teladan yang menghimpun otot-otot keberanian mereka agar tetap mengeras. Engkau pun adalah sumber cinta yang tak kan habis untuk mereka reguk.

Ayah, duhai ayah… engkau adalah sumber ilmu bagi begitu banyak tanya yang melingkupi sepanjang perjalanan hidup mereka.

Ayah, engkau adalah sosok bermilyar makna bagi tubuh-tubuh mungil penuh semangat itu. Betapa mereka sangat merindukan tuturmu yang tegas tapi penuh kebijaksanaan, cerita-ceritamu yang memang tak luwes tapi dipenuhi pancaran nilai hidup dan senyummu yang selalu khas meskipun hanya sekilas.

Ayah, anak-anakmu itu merindukan bau keringatmu. Disana mereka akan mengenali jejak masa depannya. Kala mereka tengah terpuruk dalam kelabunya suatu waktu nanti, bau keringat kita kan menyapa ingatan mereka. Kan membuat mereka mengerti bahwa perjuangan untuk tetap menghidupi kehidupan telah dimulai sejak kita ada, hingga mereka tak tenggelam dalam senyap yang berkepanjangan. Tenggelam dalam kesendirian yang sunyi.

Duhai ayah, dongengkan pada tubuh yang tengah terlelap itu kisah-kisah hebat para pejuang tangguh bangsanya. Kisahkan risalah-risalah teladan sebelum kau sendiri terbuai lelap di ujung segala lelahmu hari ini.

Ayah, duhai ayah…ku memohon maaf bila terasa membebanimu, seakan menuntut hal yang mungkin menurutmu sungguh tak perlu, tapi masjid di kampung kita ini tak mungkin terus berdiri tanpa seorang imam, seorang pemimpin komunitas harus terus dilahirkan, ayah. Dan tanpa campur tanganmu dalam mengelus rambut para calon pemimpin itu, maka tak kan terlahir manusia kokoh sekukuh dirimu

Apakah kau rela tangan-tangan lain mengelus kulit dan rambut mereka, ayah…? Apakah kau rela televisi dan debu jalanan mengambil peranmu dalam memberi keteladan hidup pada buyung dan upikmu itu,ayah..?

Apakah kau ikhlas tangan laki-laki lainlah yang kan mengusap air mata mereka kala mereka terluka karena lalaimu tuk luangkan waktu bersama mereka kala mereka rindang dalam kelabunya..? Apakah kau mampu berlapang hati bila pelukan laki-laki lainlah yang kan menghangatkan tubuh mereka saat mereka merasa kerontang karena egomu tak lekas kau buang demi mendekap buah hatimu sendiri..?

Ayah, duhai ayah… mari senantiasa kita ucapkan maaf pada mereka sebelum mereka tenggelam dalam buaian mimpi karena kita pasti tak selalu sempurna. Agar rasa kerendahatian senantiasa mengakar dalam jiwa-jiwa mereka sehingga nantinya ujung mimpi mereka mampu menjulang tinggi menjenjang langit.

Ayah, mereka memang anak-anak kita, tapi mereka adalah milik kaumnya, mereka adalah hak masa depannya…

Terima kasih telah tuntas membaca surat sederhana ini ayah, dan segala hormat untukmu di Hari ibu ini. Ku kan pastikan suatu saat ada hari hebat untukmu, Hari Ayah Nasional! Karena negeri ini butuh ayah-ayah hebat sepertimu. Pasti.

Pare, 20 Desember 2011


Tinggalkan komentar

Kategori